JAKARTA - Konstruksi di sektor industri Indonesia pada 2017 diprediksi menyentuh Rp 32,2 triliun. Bila dibandingkan setahun sebelumnya, angka itu melemah sekitar 10%. Di sisi lain, para pengembang menggarap hunian di kawasan industri sebagai salah satu sumber pendapatan berkesinambungan (recurring income).
“Tahun 2017, meskipun masih minus, pertumbuhan konstruksi industri lebih baik jika dibandingkan 2016,” tutur Senior Research Analyst BCI Asia Gusti Rahayu Anwar, kepada Investor Daily, di Jakarta, baru-baru ini.
Dia menjelaskan, dari sisi pertumbuhan, tahun 2016, konstruksi sektor industri anjlok 30,58% dibandingkan 2015. Sedangkan tahun 2017, pelemahan sektor ini sekitar 10,14%.
Menurut Rahayu, melemahnya nilai konstruksi sektor industri pada 2014 hingga 2017 tidak terlepas dari lonjakan yang luar biasa pada 2013. “Kesuksesan pertumbuhan industri, yakni 6,4% yang melebihi pertumbuhan GDP 6,2% pada 2012, mendorong pertumbuhan konstruksi industri yang signifikan pada tahun 2013, yakni 131,02%.
“Lonjakan pertumbuhan tahun 2013 mendorong lesunya pertumbuhan tahun 2014, 2015, 2016, dan 2017. Kelesuan tahun 2014 salah satunya dikarenakan sudah tidak adanya lahan industri di area Jabodetabek dan sekitarnya,” tutur dia.
Hal ini, jelas Rahayu, mendorong pemerintahan Jokowi untuk mewujudkan ‘one city one factory’. Keseriusan pemerintah dalam mewujudkan hal ini (one city one factory) terlihat dalam program kerja dan APBN yang difokuskan pada konstruksi jalan (infrastruktur) dan utilitas pendukung seperti listrik dan jalan.
“Skema kemudahan usaha dan suksesnya tax amnesty 2016 diperkirakan mampu menggeliatkan sektor konstruksi terutama industri,” ujar dia.
Di sisi lain, jelas Rahayu, Jabodetabek menyumbang sekitar 12% dari total nilai konstruksi industri. Sedangkan pada 2016 menjadi penyumbang terbesar.
Tingginya kontribusi Jabodetabek didorong oleh kesiapan kawasan itu untuk pembangunan pabrik/ industri baru disaat menunggu kesiapan daerah lain terutama infrastruktur dan utilitas dalam menyambut industri.